Jumat, 16 Januari 2015

BERPIKIR POSITIF SEORANG MUSLIM


Allah SWT berfirman : QS ali Imran 3:191

"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka."

       Islam sangat menghargai akal atau pikiran. Banyak ayat-ayat dengan tegas menuntut, menantang dan memerintahkan manusia untuk menggunakan akal pikirannya dalam memahami ayat-ayat Allah SWT guna meningkatkan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Akal dan pikiran tersebut membedakan manusia dengan makhluk Allah SWT yang lain. Kemuliaan derajat manusia ditentukan dengan kemampuannya menggunakan akal pikirannya dalam memahami ayat-ayat Allah SWT. untuk menemukan hakikat kebenaran.


Manusia : makhluk pencari kebenaran

     Manusia sering disebut dengan Hayawan an-Naatiq atau hewan berpikir yang memiliki naluri ingin tahu atau insting neugurig yang begitu besar terhadap segala sesuatu. Manusia selalu ingin tahu, dan untuk memenuhi rasa ingin tahunya tersebut, di hadapan manusia terdapat 3 jalan kebenaran yang dapat dipilih, yaitu : 

1) Jalan Filsafat : Filsafat sebagai jalan menemukan kebenaran selalu berangkat dari keragu-raguan (spekulatif) sehingga kebenaran yang dicapai pun dipenuhi dengan keragu-raguan, apakah memang itu kebenaran? Akibatnya, manusia yang menggunakan filsafat sebagai jalan menemukan kebenaran tidak mustahil akan tetap terjebak pada sikap ragu-ragu atau free thinker atau pemikir bebas, termasuk bebas memikirkan Dzat Allah SWT yang itu merupakan hal yang mustahil. Kebenaran yang diperoleh melalui jalan filsafat ini sifatnya relatif atau nisbi.

2) Jalan Ilmu Pengetahuan : Kebenaran melalui jalan ini diperoleh melalui proses pembuktian empirik dengan riset atau pun eksperimen, sehingga kebenarannya bersifat positif. Kebenaran positif artinya, kebenarannya masih dapat diterima selama secara empirik hal itu benar, jika secara empirik tidak benar, maka tidak benar juga. Dengan demikian, kebenaran yang diperoleh melalu jalan ilmu pengetahuan ini pun sifatnya relatif.

3) Jalan Agama : Jalan kebenaran agama berangkat dari keyakinan. Bahwa segala sesuatu yang datang dari Allah SWT pasti benar. Al Haqqu min rabbika, yang haq atau benar itu datangnya dari Allah SWT. maka tidak perlu ragu-ragu. Karenanya, kebenaran agama bersifat mutlak atau absolut.

        Agar supaya usaha manusia di dalam mencari kebenaran, baik dengan ilmu pengetahuan maupun filsafat, yang kedua-duanya berpangkal pada akal, tidak keluar dari jalur ‘kebenaran yang dibenarkan’ atau justru bertentangan dengan kebenaran itu sendiri, maka perlu diberi pedoman atau berlandaskan pada rambu-rambu agama. Atau dengan kata lain, pencarian kebenaran yang dilakukan manusia melalui akal dan pikirannya baik melalui filsafat maupun ilmu pengetahuan, harus dibimbing untuk sampai pada kebenaran agama dalam bentuk meningkatnya keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Inilah makna berpikir positif. Karena, akal dan pikiran manusia sangat terbatas, tetapi, dengan bimbingan agama, segala keterbatasan tersebut tidak berlaku. Kebenaran agama tidak hanya terbatas pada kebenaran akal dan pikiran manusia semata, tetapi kebenaran yang melampaui keterbatasan akal dan pikiran manusia tersebut, kebenaran yang diterima melalui petunjuk-petunjuk agama atau wahyu. 

Belajar dari Ibrahim as

      Untuk mengembangkan kemampuan berpikir positif kita bisa belajar pada apa yang telah dilakukan olah Bapak Para Rasul, nabi Ibrahim as, ketika berusaha untuk menemukan Allah SWT.

1. Menyadari adanya masalah, yaitu : ‘bagaimana manusia menyembah sesuatu yang diciptakannya sendiri?’; (QS ash-Shaffat 37:95)

2. Mengumpulkan data atau penjelasan berkaitan dengan masalah tersebut, yaitu : ‘sesungguhnya berhala-berhala itu tidak memiliki daya dan kekuatan, hingga tidak mungkin disifatkan dengan Allah'; (QS al-Anbiyaa’ 21:66)

3. Merumuskan asumsi-asumsi, berupa solusi pemecahan masalah, yaitu : ‘sesungguhnya Tuhan itu wajib tetap, tidak berubah dan selalu ada (tidak lenyap) seperti : matahari, bulan, bintang’; (QS : al An’am 6:74-79)

4. Meluruskan asumsi-asumsi, yaitu : ‘bahwa Tuhan adalah yang menciptakan semua bintang, langit, bumi, matahari dan seluruh makhluk yang ada di dalamnya’;

5. Identifikasi keabsahan asumsi : ‘bahwa semua yang ada di alam semesta ini mengindikasikan adanya Allah dan Dialah yasng telah menciptakan alam semesta ini beserta seluruh isinya dalam tatanan yang teratur dan seksama’.

       Berpikir positif adalah berpikir ilmiah melalui tahapan-tahapan yang biasa ditempuh dalam suatu proses penelitian ilmiah. Ujung atau hasil dari proses penelitian ilmiah tersebut adalah kebenaran akan kemutlakan Allah SWT. Setiap proses berpikir ilmiah atau pun penelitian ilmiah, tidak boleh berhenti sebelum sampai pada Yang Maha Benar, Yang Maha Haq, Pencipta alam beserta seluruh isinya, yaitu : Allah SWT.

Semangat Iqra’

        Pola pikir ilmiah seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. tersebut telah diajarkan oleh Allah SWT kepada nabiNya Muhammad SAW ketika beliau menerima wahyu yang pertama kali, sekaligus sebagai tanda kenabian beliau, yaitu QS al ‘Alaq 96:1-5.

1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,

2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,

4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.

5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

         Melalui wahyu yang pertama kali diturunkan ini, Allah SWT telah mengajarkan kepada manusia melalui Rasul-Nya pola pikir ilmiah, pola pikir positif yang harus senantiasa menghiasi dirinya untuk terus dan tetap belajar sampai akhir hayatnya, belajar apa saja sebagai sarana mencapai derajat mulia di sisi-Nya, yaitu derajat Muttaqin.

Pelajaran yang dapat kita ambil dari QS al-‘Alaq 96:1-5 tersebut adalah :

1. Baca dan Bacakanlah atau pelajari dan ajarkanlah. Kandungan dari makna Iqra’ adalah sama dengan : wa tawashau bil haqqi, yaitu saling berwasiat dalam kebenaran, yang mengandung arti mencari dan menggali untuk menemukan kebenaran yang pada saatnya menyebarkan dan mengajarkan kebenaran itu kepada orang lain.

2. Obyek bacaan dan yang dibacakan adalah seluruh ayat-ayat Allah SWT, baik yang ada dalam Al Qur’an (ayat Tanzilliyah) maupun ayat-ayat Allah SWT yang berupa alam semesta ciptaan Allah SWT (ayat Kauniyah).

3. Dalam mengawali seluruh aktivitas selalu dimulai dengan : a) menyebut dan mengingat nama Allah SWT; dan b) bertindak atas nama Allah SWT (bismi rabbika), serta c) tujuannya adalah meraih keridlaan Allah SWT.

4. Akhir dari seluruh aktivitas manusia adalah : menjadi Khalifatullah dan Abdullah. Khalifah merupakan fungsi asasi (dasar) manusia untuk menterjemahkan, menjabarkan dan membumikan (mengaplikasikan) sifat-sifat Allah yang serba Maha dalam batas-batas kemanusiaan. Sedang Abdullah merupakan tugas asasi manusia untuk melaksanakan ibadah, mengabdikan diri semata-mata kepada Allah. Abdullah adalah perwujudan dari khalifatullah berupa ketundukkan, kepatuhan dan ketaatan kepada Allah swt.

          Akhirnya, tugas manusia sebagai bentuk rasa syukur atas karunia Allah SWT kepadanya dalam bentuk akal dan pikiran adalah menggunakannya secara positif dalam bentuk belajar sepanjang hayat dengan selalu memikirkan ayat-ayat Allah SWT untuk membawanya pada derajat muttaqin, yaitu orang yang senantiasa takut akan siksa dan adzab Allah SWT, sebagaimana firman-Nya : QS al-Fathir 35:28

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."

Wallahu a’lamu bishshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar