Kamis, 29 Januari 2015

Keutamaan shalat fajar


    Tak ada waktu yang paling istimewa yang diberikan Allah selama 24 jam selain waktu fajar. Karena, saat itulah para malaikat turun ke dunia untuk menyaksikan ketaatan seorang hamba yang melaksanakan ibadah atau hamba yang masih terlena dalam buaian mimpi indah. Keimanan seorang hamba bisa diukur dari ibadah pada waktu sepertiga malam terakhir. Ia mengerjakan qiyamullail tahajud, tadabur Alquran, dan Subuh berjamaah di masjid. Orang yang sudah terbiasa dengan rutinitas ibadah seperti itu berhak mendapatkan hidayah fajar dari Allah SWT. Inilah yang disebut dalam Alquran: mereka laki-laki yang menyukai kesucian, melangkah ke tempat yang suci, berkendaraan menuju tempat yang suci, berbondong-bondong menuju tempat yang suci, dan Allah menyucikan mereka. 

    Selain Allah dan para malaikatnya, ada penyaksi aktivitas fajar kita, yaitu bumi yang kita injak. Bila kita mengimani kitab-Nya, maka disebutkan di dalamnya betapa bumi yang kita injak ini berbicara. Allah SWT berfirman, ''Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya, kerena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang demikian itu) padanya. (QS Az-Zalzalah [99]: 4-5).

   Pada saat kiamat, bumi ini mengabarkan tentang penghuninya. Bumi ini berbicara. ''Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan, segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab yang jelas (lauh mahfudz).'' (QS Yasin [36]: 12). 

   Mungkin kita jarang menghitung berapa kali seorang Mukmin mencium bumi sehari semalam? Shalat wajib yang kita dirikan ada 17 rakaat, sama dengan sembilan tahiyat, 34 kali sujud. Berarti sehari kita mencium bumi minimal 34 kali. Belum ditambah shalat sunat qabliyah, badiyah, dhuha, tahajjud, shalat hajat, dan seterusnya. Bumi menjadi saksi dan kelak di hari Akhir, dia akan mengungkapkan kesaksiannya. 
 
    Orang yang cinta dunia tidak akan suka pada hal ini. Orang yang mata kepalanya materialistis tidak akan suka mengerjakan hal yang sungguh ''berat'' bagi mereka ini. Hanya yang yakin ada hari pembalasan yang mau melakukan ini, mau melangkah di waktu Subuh, menembus udara dingin dan menahan kantuk untuk menyambut seruan adzan Subuh: berjamaah memuji-Nya.

    Qabliyah Shubuh yaitu shalat sunnah dua raka’at yang dilakukan sebelum shalat Shubuh. Ia merupakan amalan yang paling dicintai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana disebutkan di dalam sabdanya, artinya, “Dua raka’at Fajar(sebelum Shubuh) lebih baik daripada dunia seisinya.” Dan dalam riwayat Muslim disebutkan, “Sungguh dua raka’at itu (sebelum Shubuh) lebih aku cintai daripada seluruh dunia.”Jika dunia dengan segenap isi dan perbendaharaannya di mata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dapat menyamai dua rakaat sebelum Shubuh maka bagaimana lagi keutamaan shalat Shubuh itu sendiri.Keutamaan Shalat ShubuhSebagai Sebab Masuk Surga dan Selamat dari NerakaDisebutkan di dalam sebuab hadits bahwa siapa saja yang menjaga shalat Shubuh dan Ashar maka akan dimasukkan ke dalam Surga dan dijauhkan dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda dalam hadits riwayat 

      al-Bukhari dan Muslim, “Barang siapa yang shalat di dua waktu yang sejuk maka dia akan masuk surga.” Dan dalam hadits yang lain beliau bersabda, “Tidak akan dijilat api neraka seseorang yang shalat sebelum Matahari terbit dan sebelum tenggelam.” Yang dimaksudkan dengan dua waktu yang sejuk adalah waktu shalat Shubuh dan shalat Ashar.Disaksikan MalaikatAllah subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Dirikanlah shalat dari sesudah Matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh.
Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. 17:7

    Shalat Shubuh, disebut Qur’anul Fajr karena bacaan al-Qur’an pada shalat ini lebih panjang daripada shalat-shalat yang lain, dan shalat Shubuh ini disaksikan oleh para malaikat. Terkait dengan ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan dalam sebuah haditsnya, “Malaikat saling bergantian dalam mengawasi kalian semua pada waktu malam, dan juga malaikat pengawas di waktu siang, mereka berkumpul pada waktu shalat Shubuh dan shalat Ashar. Kemudian malaikat yang berjaga malam hari naik, lalu Allah bertanya kepada mereka tentang hamba-hamba-Nya sedangkan Allah lebih tahu keadaan mereka, “Bagaimana keadaan hamba-hamba-Ku ketika kalian tinggalkan? Maka para malaikat menjawab, “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat, dan ketika kami datang mereka pun juga sedang dalam keadaan shalat.”

    Sungguh bahagia orang-orang yang mau memerangi diri, bangkit meninggalkan kasur-kasur mereka. Berjuang keras melawan segala yang menariknya ke tempat tidur, rasa kantuk, dingin, malas dan lain sebagainya. Mereka berharap untuk mendapatkan tiket yang begitu mahal, terbebas dari sifat nifaq, dan untuk menggapai apa yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, masuk surga. Mereka juga ingin mendapatkan persaksian mulia dari para malaikat, ingin menjadi hamba-hamba yang ditanyakan Allah keadaannya, lalu dijawab oleh para malaikat bahwa mereka sedang shalat.

      Allah Bersumpah dengan Waktu Fajar. Karena besarnya keutamaan waktu Shubuh ini maka Allah subhanahu wata’ala bersumpah dengan menggunakan waktu itu, Dia berfirman, “Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. 89:1-2)

Memberi Banyak Manfaat

     Wahai saudaraku, merupakan ciri khas dari shalat Shubuh ini adalah bahwasanya dia dapat menyegarkan dan memperbaharui keimanan, menghidupkan hati, melapangkan dada, membuat jiwa penuh dengan kebahagiaan serta menjadikan berat timbangan amal kebaikan.

         Sesungguhnya nikmatnya tidur pada waktu Shubuh yang hanya sekian menit tidaklah sebanding dengan kengerian di kubur, atau kengerian jurang-jurang di neraka. Kala itu seseorang hanya mampu menggigit jari menyesal untuk selama-lamanya seraya mengatakan, “Wahai Rabb kembalikan aku ke dunia, aku akan melakukan amal shalih yang dulu aku tinggalkan.” Betapa celaka, kenikmatan yang di akhiri dengan penyesalan, dan kenyamanan yang membawa penderita an begitu menyakitkan.

      Saudaraku tercinta, cobalah kita ingat nikmat Allah yang terus menerus mengiringi kita tiada henti, coba bandingkan kondisi anda dengan kondisi orang lain. Ketika mereka berbaring di tempat tidur, kepala mereka masih diselimuti oleh berbagai beban berat, kegalauan dan kekhawatir an, apa yang akan dimakan besok? Sementara tubuh diliputi rasa penat dan lelah, setelah seharian mencari sesuap nasi untuk menghilang kan rasa lapar. Sebagian dari mereka ketika bangun di pagi hari terkadang ditemani oleh dentuman meriam dan rentetan tembakan senapan, sementara perut terasa lapar sedang hawa pun demikian dingin menyengat. Di sisi mereka anak-anak yang masih kecil menangis, berteriak kelaparan dan mengeluh kesakitan. 

       Adapun kita…sungguh kita dalam keadaan aman ketika makan dan minum, badan kita pun sehat, masih punya kekuatan dan umur. Maka janganlah itu semua menipu dan membuat kita terlena, dengan menggunakan kenikmatan tersebut untuk kemaksiatan dan dosa serta lupa bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala yang telah melimpahkan segala nikmat dengan tanpa batas.

      Saudaraku, apakah engkau merasa aman ketika menuju pembaringanmu, padahal boleh jadi ia adalah tidur terakhirmu di dunia. Engkau tidak bangun lagi setelahnya dan ketika bangun tahu-tahu engkau telah berada di alam kubur. Maka selayaknya kita bersiap-siap selagi kita masih berada di dunia ini. Siapkanlah jawaban untuk di kubur, jawaban yang benar dan lurus tentunya. Jangan lupa kita selalu memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar menjadikan kita semua orang-orang yang mau mendengarkan ucapan dan mau mengikuti mana yang baik di antara ucapan itu, menjadikan akhir kehidupan kita dengan akhir kehidupan yang baik dan bahagia, dan mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala menolong kita untuk selalu berdzikir mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya dan memperbaiki ibadah hanya kepada-Nya. 

Jika Shalat Shubuh Diremehkan

Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
(QS. 4:103-104)

      Islam adalah jalan kehidupan yang universal dan mencakup seluruh sisi kehidupan manusia. Islam merupakan sebuah ikatan antara seorang hamba dengan Rabbnya, Allah subhanahu wata’alaberfirman, “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia,dan jangan kamu menyembunyi kannya,” lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.”
(QS. 3:187) 

    Maka seorang hamba harus iltizam (komitmen) terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Rabbnya. Dan Allah subhanahu wata’ala pun telah memberikan berbagai macam hak manusia dan berikut keistimewaannya dan pada akhirnya seorang hamba akan mendapatkan haknya yang terbesar sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, artinya, “Dan hak hamba atas Allah adalah Allah tidak menyiksa siapa saja yang tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun.”

Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. 2:20

     Para mufassirin mengatakan tentang makna ayat ini (yaitu), “Terimalah Islam dengan segenap hukum dan syari’atnya.” Allah subhanahu wata’ala telah murka kepada bani Israil yang hanya menerima sebagian ajaran agama yang mereka kehendaki serta enggan mengerjakan sebagian yang lainnya. Maka Allah subhanahu wata’ala berfirman “Apakah kamu beriman kepada sebagian dari Al-Kitab
(Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain?” (al-Baqarah:85)

     Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu memvonis orang yang tidak shalat Shubuh dan Ashar dengan berjama’ah sebagai munafiq ma’lumun nifaq (yang nyata nifaqnya) maka bagaimana dengan orang yang sama sekali tidak mengerjakan shalat, berjama’ah maupun tidak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda, artinya, “Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang-orang munafiq daripada shalat Subuh dan Isya’. Seandainya mereka mengetahui besarnya pahala kedua shalat tersebut, niscaya akan mendatanginya meskipun dengan merangkak.” (HR al-Bukhari)

     Allah subhanahu wata’ala berlepas diri dari orang- orang yang meninggalkan shalat fardu lima waktu, sebagaimana disebutkan di dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam artinya, “Janganlah engkau meninggalkan shalat dengan sengaja, karena sesungguhnya siapa saja yang meninggalkan shalat dengan sengaja maka tanggungan Allah dan Rasul-Nya telah terelepas darinya.” (HR Ahmad dalam
al-Musnad) 

Solusi

      Di antara solusi yang insya Allah dapat membantu kita menjadi orang-orang yang dapat menjaga shalat adalah sebagai berikut : Hendaknya memposisikan shalat sesuai dengan kedudukannya dalam kehidupan kita, sehingga dalam seluruh aktivitas kehidupan kita senantiasa menekankan masalah shalat ini, bukan sebaliknya menyepelekannya.

  Mempergunakan jam(bel/weker) untuk membangunkan kita agar tidak terlambat dalam menjalankan shalat Shubuh.

    Tidur lebih awal, agar dapat bangun lebih awal pula, dan usahakan melakukan pekerjaan atau aktivitas setelah selesai shalat Shubuh. Karena Allah subhanahu wata’ala membagi rizki-Nya pada waktu setelah Shubuh ini.

   Membiasakan untuk membaca dzikir dan do’a sebelum tidur, dan memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar menolong kita untuk selalu mengerjakan shalat.

    Merasa sangat bersalah dan berdosa ketika kita ketinggalan shalat dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengulangi kesalahan itu.

     Dialihbahasakan dari brosur berbahasa Arab dengan tema Keutamaan Shalat Shubuh dan Qabliyah Shubuh. (Khalif)



Senin, 26 Januari 2015

Menerima Tamu 3


      Dalam ajaran Islam istilah ”Tamu adalah raja” ini merupkan inti dari ajaran islam itu sendiri dan barang siapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah menyambungkan tali silaturrahim.
Tuan rumah (Shohibul bait) dalam menerima tamu hendaknya mempunyai etika-etika (adab) dalam menerima tamu sesuai dengan ajaran islam. Yaitu seperti :

1. Hendaknya Menunjukkan Wajah Kegembiraan

    Tuan rumah hendaknya menunjukkan wajah kegembiraan. Jika ketika itu tuan rumah sedang mempunyai masalah yang merisaukan hendaknya kerisauan itu tidak ditampakkan kepada tamu. Jika kekesalan itu tertuju kepada orang yang datang bertamu, hendaknya usahakan tetap bisa bersikap ramah, karena berlaku tidak ramah kepada tamu, misalnya menampilkan wajah cemberut atau secara sengaja tidak berbicara atau berbicara sangat singkat, berlawanan dengan muru`ah tuan rumah yang justru harus dijaga.

2. Menjawab Salam

      Menjawab salam saudara kita sesama muslim berarti merealisasikan sunnah Rosulullah saw dan menunaikan hak sesama muslim. Dan menjawab salam itu sendiri hukumnya adalah wajib.
Dan jika yang bertamu itu ahli kitab (orang Non-Muslim) yang mengucapkan salam, maka jawabannya cukup hanya dengan ucapan "alaik" atau "alaikum" saja.

3. Berjabat Tangan

      Ketika bertemu dengan tamu saudara sesama muslim, disunnahkan berjabat tangan sebagaimana amalan para sahabat Nabi.


4. Bersikap simpatik

    Selain menyambut tamu dengan wajah ceria di awal kehadirannya, dan mengajaknya bicara dengan tutur kata yang baik dan sopan. Imam Al Auza`i mengatakan bahwa:
”Memuliakan tamu itu adalah (sekurang-kurangnya) menunjukkan wajah ceria dan baik tutur kata”.

    Tradisi masyarakat beradab sejak zaman Nabi saw dalam menjamu tamu selalu ada unsur obrolan, luwes, simpatik dan ramah tamah.
Dan sekiranya kita sebagai tuan rumah mempersilahkan tamunya seperti layaknya rumah sendiri, sehingga tidak layak bagi tuan rumah untuk menyuruh tamu melayani dirinya.

5. Memberi Hidangan

    Ketika tamu itu duduk, hendaklah menyuguhkan minuman agar tamu merasa nyaman karena penghormatan kita. Dan jika telah selesai janganlah terburu-buru mengangkat hidangan dari meja tamu sebelum tamu benar-benar menyelesaikan makanannya dan membersihkan tangannya.
Jika kita termasuk dalam keadaan golongan orang yang kurang mampu, hendaknya hidangkan kepada tamu kita seadanya saja meskipun itu hanya air putih.
Jika tamu berpamitan hendaknya tuan rumah mengantar sampai ke luar
rumah.

6. Jangan Membebani Tamu

    Janganlah seorang tuan rumah membebani tamu untuk membantu, kerana hal ini bertentangan dengan kewibawaan dan jangan menampakkan kejemuan terhadap tamu, tetapi menampakkan kegembiraan dengan kehadiran mereka, bermuka manis dan berbicara ramah dan ceria. 

7. Boleh Menanyakan Siapa Namanya

    Jika yang bertamu adalah orang yang belum kita kenal sama sekali, dan dia meminta izin untuk masuk, maka kita boleh menanyakan namanya sambil berjabat tangan seraya mengenalkan diri. Karena berjabat tangan dengan sesama muslim hikmahnya banyak yaitu diantarnya dapat melapangkan dada, mempererat ukhuwah dan dapat menghapus dosa selama belum berpisah.

8. Boleh Menolak Tamu

    Sebagai tuan rumah kita diberi kuasa oleh Allah SWT untuk menentukan sikap terhadap tamu. Apakah kita akan menolak tamu tersebut atau menerimanya, jika kita menolak karena suatu hal maka hendaknya bicara jujur dan menyampaikan udzurnya dengan akhlak yang baik.
Dari Abu Hurairah dari Nabi Beliau berkata:
"… barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya memuliakan tamunya, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya bicara yang benar atau diam.”

9. Boleh Saling Berpelukan

      Jika tamu kita adalah orang yang bertempat tinggal jauh sekali, bisa dikatakan bahwa tamu kita tersebut hanya bersilaturrahim tiap Idul Fitri saja, maka ketika tamu tersebut berpamitan kita boleh saling berpelukan.
Dan pada hukum asalnya (berpelukan itu) yaitu dibolehkan kecuali selain mahramnya. 



Adab menerima tamu 2

     


      Selaku manusia yang selalu berinteraksi sesamanya, kita tentu memiliki banyak teman, baik karena hubungan keluarga maupun karena hubungan lainnya. Suatu saat kita tentu berkunjung kekediaman / rumah teman atau keluarga kita, atau sebaliknya kita menerima mereka, atau orang yang belum dikenal.
Nah sebagai penerima tamu, ada baiknya diperhatikan adab berikut, yang antara lain adalah :

  1. Berniatlah dalam hati dengan niat yang bersih, dengan tujuan mendapatkan rida- dan pahala-Nya;
  2. Sambutlah tamu dengan baik, ramah dan sopan, dengan wajah penuh senyuman, lagi ceria dan dengan ungkapan yang santun;
  3. Persilakan tamu untuk duduk pada tempat yang layak; sebaiknya pada tempat yang tidak terlalu transparan;
  4. Hargailah tamu Anda, antara lain dengan menyuguhkan minuman atau makanan yang tersedia. Jangan terlalu lama atau terlambat dalam menyuguhkan hidangan;
  5. Suguhkanlah makanan / minuman pada tempat yang layak;
  6. Hindari terlalu memaksakan diri dalam melayani tamu. Jika ada hidangan, hidangkanlah sesuai kemampuan. Jangan berbelanja sampai berlebihan hanya untuk menyambut tamu;
  7. Berikanlah pelayanan yang terbaik;
  8. Sejauh mungkin, layanilah tamu sendiri;
  9. Berbuatlah yang terbaik terhadap tamu selama kunjungannya;
  10. Ketika hendak berpamitan, antarlah tamu sampai pintu rumah;
  11. Hindari menutup pintu sampai si tamu benar-benar pergi. 
Sumber : Hj. Yati Aryati

Kamis, 22 Januari 2015

Keutamaan Shalat Subuh


     Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan shalat subuh dan ashar (secara berjamaah), niscayad ia akan masuk surga.” , Pada waktu subuh, ada malaikat turun dari langit khusus untuk mencatat orang yang bangun melaksanakan shalat subuh, mereka tidak akan pernah kembali lagi sampai hari kiamat tiba. Dan banyak lagi perkara yang terdapat dalam shalat subuh, baik menurut keutamaan ukhrawi maupun keutamaan waqi’I yaitu yang menyangkut perkara duniawi, diantaranya:

- Manfaat shalat, dari takbir hingga salam.
- Mengungkap kekuatan subuh
- Nama-nama dan makna subuh
- Pengaruh subuh terhadap diri manusia.
- Masalah seputar subuh

Sesungguhnya amal manusia yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya” Jika shalatnya baik, maka baik pula seluruh amalnya; dan kalau jelek, maka jeleklah seluruh amalnya. Bagaimana mungkin seorang mukmin mengharapkan kebaikan di akhirat, sedang pada hari kiamat bukunya kosong dari shalat Subuh tepat waktu?

“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Subuh. Sekiranya mereka mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, niscaya mereka akan mendatangi keduanya (berjamaah di masjid) sekalipun dengan merangkak” [HR Al-Bukhari dan Muslim]
Shalat Subuh memang shalat wajib yang paling sedikit jumlah rekaatnya; hanya dua rekaat saja. Namun, ia menjadi standar keimanan seseorang dan ujian terhadap kejujuran, karena waktunya sangat sempit (sampai matahari terbit)

Ada hukuman khusus bagi yang meninggalkan shalat Subuh. Rasulullah saw telah menyebutkan hukuman berat bagi yang tidur dan meninggalkan shalat wajib, rata-rata penyebab utama seorang muslim meninggalkan shalat Subuh adalah tidur.

“Setan melilit leher seorang di antara kalian dengan tiga lilitan ketika ia tidur. Dengan setiap lilitan setan membisikkan, ‘Nikmatilah malam yang panjang ini’. Apabila ia bangun lalu mengingat Allah, maka terlepaslah lilitan itu. Apabila ia berwudhu, lepaslah lilitan yang kedua. Kemudian apabila ia shalat, lepaslah lilitan yang ketiga, sehingga ia menjadi bersemangat. Tetapi kalau tidak, ia akan terbawalamban dan malas”.

“Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang banyak berjalan dalam kegelapan (waktu Isya’ dan Subuh) menuju masjid dengan cahaya yang sangat terang pada hari kiamat”[HR. Abu Dawud, At-Tarmidzi dan Ibnu Majah]

Allah akan memberi cahaya yang sangat terang pada hari kiamat nantinya kepada mereka yang menjaga Shalat Subuh berjamaah (bagi kaum lelaki di masjid), cahaya itu ada dimana saja, dan tidak mengambilnya ketika melewati Sirath Al-Mustaqim, dan akan tetap bersama mereka sampai mereka masuk surga, Insya Allah.

“Shalat berjamaah (bagi kaum lelaki) lebih utama dari shalat salah seorang kamu yang sendirian, berbanding dua puluh tujuh kali lipat. Malaikat penjaga malam dan siang berkumpul pada waktu shalat Subuh”. “Kemudian naiklah para Malaikat yang menyertai kamu pada malam harinya, lalu Rabb mereka bertanya kepada mereka - padahal Dia lebih mengetahui keadaan mereka - ‘Bagaimana hamba-2Ku ketika kalian tinggalkan ?’ Mereka menjawab, ‘Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat dan kami jumpai mereka dalam keadaan shalat juga’. ” [HR Al-Bukhari]

Sedangkan bagi wanita - walau shalat di masjid diperbolehkan - shalat di rumah adalah lebih baik dan lebih banyak pahalanya, yaitu yang mengerjakan shalat Subuh pada saat para pria sedang shalat di masjid. Ujian yang membedakan antara wanita munafik dan wanita mukminah adalah shalat pada permulaan waktu.

“Barang siapa yang menunaikan shalat Subuh maka ia berada dalam jaminan Allah. Shalat Subuh menjadikan seluruh umat berada dalam jaminan, penjagaan, dan perlindungan Allah sepanjang hari. Barang siapa membunuh orang yang menunaikan shalat Subuh, Allah akan menuntutnya, sehingga Ia akan membenamkan mukanya ke dalam neraka” [HR Muslim, At-Tarmidzi dan Ibnu Majah]

Banyak permasalahan, yang bila diurut, bersumber dari pelaksanaan shalat Subuh yang disepelekan. Banyak peristiwa petaka yang terjadi pada kaum pendurhaka terjadi di waktu Subuh, yang menandai berakhirnya dominasi jahiliyah dan munculnya cahaya tauhid. “Sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka ialah di waktu Subuh; bukankah Subuh itu sudah dekat?” (QS Huud:81)

Rutinitas harian dimulainya tergantung pada pelaksanaan shalat Subuh. Seluruh urusan dunia seiring dengan waktu shalat, bukan waktu shalat yang harus mengikuti urusan dunia.
“Jika kamu menolong (agama) Allah, maka ia pasti akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhammad : 7)
“Sungguh Allah akan menolong orang yang menolong agamanya, sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa” (QS Al-Hajj:40)

TIPS MENJAGA SHALAT SUBUH :
  1. Ikhlaskan niat karena Allah, dan berikanlah hak-hak-Nya
  2. Bertekad dan introspeksilah diri Anda setiap hari
  3. Bertaubat dari dosa-dosa dan berniatlah untuk tidak mengulangi kembali
  4. Perbanyaklah membaca doa agar Allah memberi kesempatan untuk shalat Subuh
  5. Carilah kawan yang baik (shalih)
  6. Latihlah untuk tidur dengan cara yang diajarkan Rasulullah saw (tidur awal; berwudhu sebelum tidur; miring ke kanan; berdoa)
  7. Mengurangi makan sebelum tidur serta jauhilah teh dan kopi pada malam hari
  8. Ingat keutamaan dan hikmah Subuh; tulis dan gantunglah di atas dinding
  9. Bantulah dengan 3 buah bel pengingat(jam weker; telpon; bel pintu)
  10. Ajaklah orang lain untuk shalat Subuh dan mulailah dari keluarga
Jika Anda telah bersiap meninggalkan shalat Subuh, hati-hatilah bila Anda berada dalam golongan orang-orang yang tidak disukai Allah untuk pergi shalat. Anda akan ditimpa kemalasan, turun keimanan, lemah dan terus berdiam diri.

     Inilah pembukaan buku yang tak terlalu tebal (167 halaman) dan dicap sebagai Best Seller ini. Sungguh sangat menohok dan sangat mengena. Bagaimana tidak mengena? Lihatlah keadaan masjid kita saat sholat Jum’at dan lihatlah lagi ketika fajar menjelang. Masjid yang penuh sesak saat sholat Jum’at tiba-tiba menjadi sepi di kala sholat Subuh. Satu shof pun mungkin tak penuh.

       Berawal dari keprihatinan penulis mengenai fenomena ini, topik dalam buku ini diangkat. Bagian pertama buku ini membahas mengenai waktu dan keutamaan sholat Subuh secara mendetail. Ringkasan keutamaan sholat Subuh yang disebutkan dalam buku ini antara lain:
  1. Sholat Subuh adalah faktor dilapangkannya rezeki
  2. Sholat Subuh menjaga diri seorang muslim
  3. Sholat Subuh sama dengan sholat malam semalam suntuk
  4. Sholat Subuh adalah tolok ukur keimanan
  5. Sholat Subuh adalah penyelamat dari neraka
  6. Sholat Subuh adalah salah satu penyebab seseorang masuk surga
  7. Sholat Subuh akan mendatangkan nikmat berupa bisa melihat wajah Allah yang mulia
  8. Sholat Subuh adalah suatu syahadah (kesaksian, bukti), khususnya bagi yang konsisten memeliharanya
  9. Sholat Subuh adalah kunci kemenangan
  10. Sholat Subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya
      Setelah dibahas keutamaannya, bagian kedua buku ini membahas tips dan trik bagaimana agar sholat Subuh bisa dilaksanakan dengan sempurna. Misalnya tidur lebih awal, memasang jam weker di tempat yang sulit dijangkau, dan masih ada 12 tips lagi yang bisa dicoba. Dan bagian terakhir buku ini membahas fiqih sholat subuh, lengkap dengan bid’ah yang sering terjadi, dan dzikir yang menyertai. Sebagai penutup, bab terakhir membahas bagaimana wanita salaf dengan tekun melaksanakan sholat subuh, dan diakhiri dengan pertanyaan yang lagi-lagi menohok, “Dimanakah kaum lelaki kita?”

       Buku ini cukup ringan untuk ukuran buku yang membahas Fiqih sehingga enak dibaca sambil makan. Tak perlu menyediakan waktu khusus dan energi khusus untuk membaca buku ini karena dikemas dengan bahasa yang komunikatif. Mungkin jika dikategorikan berdasarkan kategorisasi novel, buku ini adalah chick lite namun tetap tidak meninggalkan keseriusannya. Wajib dibaca untuk kita semua, apalagi untukku yang sering susah bangun pagi, hehehehe….


Rabu, 21 Januari 2015

Adab Menerima Tamu


     Beberapa waktu yang lalu, kami mengulas tentang bagaimana bertamu yang sesuai dengan sunnah Rasulullah. Lalu bagaimana dengan sikap shohibul bait (tuan rumah)? Langsung saja (tanpa pendahuluan) kami uraikan satu per satu bagaimana adab yang benar dalam menerima tamu, baik itu muslim maupun kafir. Apa saja yang diperbolehkan dan apa saja yang dilarang.

1. Menjawab Salam

    Menjawab salam saudara kita sesama muslim berarti merealisasikan sunnah
Rosululloh dan menunaikan hak sesama muslim.

Dari Abu Hurairoh berkata: Saya mendengar Rosululloh bersabda:

"Hak orang muslim terhadap muslim lainnya ada lima; Menjawab
salam… "

Adapun apabila ahli kitab yang mengucapkan salam, maka jawabannya
cukup hanya dengan ucapan "alaik" atau "alaikum"
saja, sebagaimana keterangan yang lalu.

2. Boleh Menanyakan Siapa Namanya

Ketika sohibul bait (tuan rumah) mengetahui ada tamu yang sedang
meminta izin masuk ke rumahnya sedangkan dia tidak mengenal sebelumnya,
maka boleh menanyakan namanya. Misalnya dengan menggunakan pertanyaan:
"Siapa nama Anda?", "Siapa itu?"
atau pertanyaan serupa lainnya.

Dari Qotadah dia berkata:

"Aku pernah bertanya kepada sahabat Anas: Apakah berjabat
tangan itu ada pada zaman sahabat Nabi" Maka dia menjawab:
"Ya".

Hikmah berjabat tangan sesama muslim sangat banyak sekali, antara
lain: dapat melapangkan dada, menambah erat ukhuwah Islamiyah dan
dapat menghapus dosa selama belum berpisah.

3. Boleh Menolak Tamu

Alloh memberi wewenang kepada shohibul bait untuk menentukan
sikap terhadap tamu yang datang antara menerima dan menolak. Jika
memang harus menolaknya karena suatu hal, maka hendaknya dia menolak
dengan sopan, menyampaikan udzurnya dan dengan adab yang baik.

Dari Abu Hurairah dari Nabi Beliau berkata:

… barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir maka hendaknya
memuliakan tamunya, dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan
hari akhir maka hendaknya bicara yang benar atau diam.

4. Berjabat Tangan

Ketika bertemu dengan tamu saudara sesama muslim, disunnahkan berjabat
tangan sebagaimana amalan para sahabat Nabi Muhammad.

Dari Jabir bin Abdulloh bahwasanya dia berkata:

Saya datang kepada Rosululloh untuk membayar hutang ayahku, aku mengetuk
pintu rumahnya. Beliau bertanya: "Siapa itu?".

Dari Al-Barro’ bin Azib ia berkata: Rosululloh bersabda:

Tidaklah dua orang Islam yang saling bertemi lalu berjabat tangan
melainkan Alloh akan mengampuni keduanya selagi belum berpisah.

Tetapi bila tamunya wanita yang bukan mahrom, maka dilarang berjabat
tangan. Karena Rosululloh sepanjang hidupnya tidak pernah berjabat
tangan dengan wanita yang bukan mahromnya.

Dari Aisyah ia berkata:

… tidaklah pernah tangan Rosululloh menyentuh tangan seorang wanitapun
(yang bukan -mahromnya), kecuali budak wanita yang beliau miliki.

Bahkan dosa orang yang berjabat tangan atau menyentuh wanita yang
bukan mahromnya lebih pedih daripada ditusuk kepalanya dengan jarum
besi.

Dari Ma’qol bin Yasar ia berkata: Rosululloh bersabda:

"Sungguh kepala seorang bila ditusuk dengan jarum besi itu
lebih balk dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya ".

5. Boleh Saling Berpelukan

Berpelukan dengan tamu yang datang dari bepergian, pada asalnya dibolehkan,
karena banyak sahabat yang mengamalkannya. Imam Ahmad, Abu Ja’far
At-Thohawi berkata:

Ulama berselisih pendapat dalam hukum berpelukan. Ada yang membolehkan
dan ada yang melarang. Mereka yang membolehkan berdalil dengan riwayat
dari Sya’bi dengan sanadnya:

"Sesungguhnya sahabat Nabi apabila mereka bertemu, mereka
saling berjabat tangan dan bila datang dari bepergian mereka berpeluk-pelukan. 

Dari Abu Ja’far dia berkata: Ketika aku datang menghadap Rosululloh
dari Najasi beliau menjumpaiku lalu memelukku.

Dari Ummu Darda’ dia berkata: Ketika Salman tiba, dia bertanya "Dimana
saudaraku?" Lalu aku menjawab: "Dia di masjid",
lalu dia menuju ke masjid dan setelah melihatnya, dia memeluknya,
sedangkan sahabat yang lain saling berpeluk-pelukan pula.

Kesimpulannya: Pada mulanya dilarang berpeluk-pelukan kemudian atsar
berikutnya membolehkan. 

Muhammad Al-Mubarokfuri berkata:

"Adapun penggabungan hadits antara Riwayat Anas yang menerangkan
tidak disyari’atkannya berpelukan, dengan riwayat Aisyah yang membolehkannya,
maka riwayat Aisyah mertunjukkan kekhususan ketika datang dari bepergian.
Wallohu a’lam."

Kami tambahkan pula bahwa bab berpelukpelukan ini dikutip pula oleh
Imam Bukhori di dalam kitab shohihnya, Imam Tirmidzi di dalam kitab
Jami’nya dan Abu Dawud di dalam kitab Sunannya yaitu Kitab Al-Isti’dzan
wal Adab, silakan menelaahnya.

Walhasil, berpelukan dengan tamu yang baru datang dari bepergian jauh
dibolehkan asal sesama jenis. Sebagaimana yang pernah diamalkan oleh
para sahabat. Wallohu a’lam.





Selasa, 20 Januari 2015

Adab Bertamu dalam Islam


     Dalam kehidupan sehari-hari, dapat dipastikan bahwa seorang manusia tidak dapat hidup seorang diri, sekaya dan secukup apapun, pastilah seorang manusia membutuhkan pertolongan dan bantuan orang lain. Dari rasa saling membutuhkan inilah timbul jalinan persaudaraan atau ukhuwah, pertemanan, dll. Dan setiap kegiatan sosialisasi tentunya ada kegiatan saling berkunjung baik ke rumah kerabat maupun menghadiri undangan walimahan kerabat, dll. Hal inilah yang membuat saya berpikir lebih lanjut, bagaimana sih adab bertamu ke rumah kerabat atau memenuhi undangannya secara Islam. Bagaimana secara Islam sikap yang seharusnya dalam memuliakan tamu dan menjadi tuan rumah, saya menemukan beberapa artikel di Internet yang akan saya copy paste disini. Semoga membantu dan menjadi pelajaran bagi kita semua dan terutama diri saya sendiri. Insya Allah… Amiin…

    Adab bertamu bagi Tamu:

    1. Hendaknya memenuhi undangan dan tidak terlambat darinya kecuali ada udzur/halangan, karena hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam mengatakan:“Barangsiapa yang diundang kepada walimah atau yang serupa, hendaklah ia memenuhinya”. (HR. Muslim) 

   2. Hendaknya tidak membedakan antara undangan orang fakir dengan undangan orang yang kaya, karena tidak memenuhi undangan orang faqir itu merupakan pukulan (cambuk) terhadap perasaannya. Ini berarti Islam secara NYATA mengajarkan bahwa tidak ada perbedaan manusia, kecuali dalam hal takwa.Apabila kita sedang berpuasa sekalipun, diharapkan hadir. Ada hadits yang bersumber dari Jabir Radhiallaahu anhu menyebutkan bahwasanya Rasululloh SAW bersabda:”Barangsiapa yang diundang untuk jamuan sedangkan ia berpuasa, maka hendaklah ia menghadirinya. Jika ia suka makanlah dan jika tidak, tidaklah mengapa.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani). 

   3. Jangan terlalu lama menunggu di saat bertamu karena ini memberatkan yang punya rumah juga jangan tergesa-gesa datang karena membuat yang punya rumah kaget sebelum semuanya siap. Bertamu tidak boleh lebih dari tiga hari, kecuali kalau tuan rumah memaksa untuk tinggal lebih dari itu. 

  4. Hendaknya pulang dengan hati lapang dan memaafkan kekurang apa saja yang terjadi pada tuan rumah. 

  5. Hendaknya mendo`akan untuk orang yang mengundangnya seusai menyantap hidangannya. “Ya Allah, ampunilah mereka, belas kasihilah mereka, berkahilah bagi mereka apa yang telah Engkau karunia-kan kepada mereka. Ya Allah, berilah makan orang yang telah memberi kami makan, dan berilah minum orang yang memberi kami minum”. 

  6. Tidak Mengintai Ke Dalam Bilik. Jika kita hendak bertamu dan telah sampai di halaman rumah, tidak diizinkan mengintip melalui jendela atau bilik, walaupun tujuannya ingin mengetahui penghuninya ada atau tidak. 

 7. Tidak Masuk Rumah Walaupun Terbuka Pintunya. Dari ayat 27 An Nuur, sebagaimana telah ditulis di atas, kita baru boleh masuk rumah orang lain harus mendapatkan izin dari pemilik rumah. 

  8. Minta Izin Maksimal Tiga Kali. Tamu yang hendak masuk di (halaman) rumah orang lain jika telah meminta izin tiga kali, tidak ada yang menjawab atau tidak diizinkan, hendaknya pergi. Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia berkata,“Abu Musa telah meminta izin tiga kali kepada Umar untuk memasuki rumahnya, tetapi tidak ada yang menjawab, lalu dia pergi, maka sahabat Umar menemuinya dan bertanya,”Mengapa kamu kembali?” Dia menjawab,”Saya mendengar Rasululloh bersabda,”Barangsiapa meminta izin tiga kali, lalu tidak diizinkan, maka hendaklah kembali.” 

 9. Tidak Menghadap Ke Arah Pintu Masuk. Ketika tamu tiba di depan rumah, hendaknya tidak menghadap ke arah pintu. Tetapi hendaknya dia berdiri di sebelah pintu, baik di kanan maupun di sebelah kiri. Hal ini dicontohkan Rasululloh SAW.Dari Abdulloh bin Bisyer ia berkata,“Adalah Rasululloh SAW apabila mendatangi pintu suatu kaum, beliau tidak menghadapkan wajahnya ke depan pintu, tetapi berada di sebelah kanan atau kirinya dan mengucapkan ”Assalamu ‘alaikum … assalamu ‘alaikum …” 

  10. Hendaknya Menyebut Nama Yang Jelas. Ketika tuan rumah menanyakan nama, tamu tidak boleh menjawab dengan jawaban “Saya” atau jawaban yang tidak jelas. Karena tujuan tuan rumah bertanya adalah ingin tahu siapa tamu yang mengunjunginya dan untuk menentukan sikap apakah tamu tersebut boleh masuk atau tidak.

Adab menerima tamu bagi Tuan Rumah:

1. Jangan hanya mengundang orang-orang kaya untuk jamuan dengan mengabaikan/melupakan orang-orang fakir. Rasululloh SAW bersabda:“Seburuk-buruk makanan adalah makanan pengantinan (walimah), karena yang diundang hanya orang-orang kaya tanpa orang-orang faqir.” (Muttafaq’ alaih). 

2. Undangan jamuan hendaknya tidak diniatkan berbangga-bangga dan berfoya-foya, akan tetapi niat untuk mengikuti sunnah Rasululloh SAW dan membahagiakan teman-teman sahabat, ataupun syukuran dalam rangka bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT. 

3. Tidak memaksakan diri untuk mengundang tamu. Di dalam hadits Anas Radhiallaahu anhu ia menuturkan:“Pada suatu ketika kami ada di sisi Umar, maka ia berkata: “Kami dilarang memaksa diri” (membuat diri sendiri repot).” (HR. Al-Bukhari) 

4. Jangan anda membebani tamu untuk membantumu, karena hal ini bertentangan dengan kewibawaan. 

5. Jangan menampakkan kejemuan/kebosanan terhadap tamu, tetapi tunjukkanlah kegembiraan dengan kahadiran tamu tersebut. 

6. Hendaklah segera menghidangkan makanan untuk tamu, karena yang demikian itu berarti menghormatinya. 

7. Jangan tergesa-gesa untuk mengangkat makanan (hidangan) sebelum tamu selesai menikmati jamuan. 

8. Disunnatkan mengantar tamu hingga di luar pintu rumah. Ini menunjukkan penerimaan tamu yang baik dan penuh perhatian. 


Demikian sedikit dari adab-adab bertamu dan menerima tamu yang saya temui di Internet, sebenarnya ada satu situs lagi yang amat baik, namun sepertinya terlalu panjang jika ditulis disini, lebih baik dibaca sendiri.

Semoga dapat menjadi tamu yang bersahaja dan tuan rumah yang memuliakan tamunya... :)



Dari Pak B.J Habibie


  •   Kesempurnaan tidak datang dengan sendirinya. Kesempurnaan harus diupayakan. Kesempurnaan harus dinilai. Proses dan hasil pekrjaan harus diawasi.
  •      Percaya itu baik, tetapi mengecek lebuh baik lagi. Mengecek itu tidak ada hubungannya dengan sikap terhadap perorangan. 
  •      Mengecek menyangkut tanggungjawab atas pekerjaan dan perbuatan semua anggota sistem kerja terhadap hasil kerja keseluruhan sistem.
     Ketrampilan harus dicapai dengan dua cara:

    1. Para kader perlu malaksanakan prinsip bahwa; belajar dan menguasai teori itu sangat perlu, namun itu tidak cukup. Yang perlu dan cukup adalah menerapkan pengetahuan pada masalah-masalah konkret. Untuk meningkatkan produksi beras misalnya, memang perlu sekali dikuasai teori. Namun ketrampilan nyata meningkatkan produksi beras hanya dapat diperoleh dengan mempraktekkan teori-teori pada kegiatan konkret di lapangan, keadaan air, hama, lahan, bibt dsb.

   2. Ketrampilan hanya dapat diperoleh dengan spesialisasi, dengan semakin mendalami sesuatu, dengan semakin mendalam, dengan mengkhususkan diri, tidak dengan melebar menangani banyak topik yang berbeda-beda. Hanya dengan spesialisme akan dapat ditumbuhkan kekuatan bersaing berdasarkan kemampuan.

  •   Landasan pokok bagi hubungan kerjasama adalah saling percaya. Sering Pak Habibie berkata pada mitranya: “Kalau kita saling percaya maka perjanjian tertulis dua hal saja cukup. Sebaliknya, kalau kita berdua tidak saling percaya perjanjian tertulis setebal buku pun tidak akan menolong”.
  •  Dasar kepercayaan adalah kesatuan sikap dan niali serta keserasian kepentingan. Kesatuan sikap dan nilai akan melahirkan kesatuan berfikir. Sikap dan nilai yang sama akan melahirkan peranggapan dan batasan-batasan yang sama. 
  •  Kesatuan nilai dan keserasian kepentingan melahirkan tujuan akhir yang serupa atau sekurang-kurangnya searah. 
  •  Saling percaya membuat hidup tidak saja terasa terasa jauh lebih aman, hidup akan terasa jauh lebih muda. Tidak perlu pasang kuda-kuda. Tidak perlu semuanya hitam diatas putih. Hak dan kewajiban kedua belah pihak tidak perlu dirinci panjang lebar. Kesemuanya sudah dipahami dengan sendirinya tanpa perlu disebut.

Jenis-Jenis gangguan belajar


Definisi Gangguan Belajar

     Gangguan Belajar (Learning Disorder) adalah suatu gangguan neurologis yang mempengaruhi kemampuan untuk menerima, memproses, menganalisis atau menyimpan informasi. Anak dengan Gangguan Belajar mungkin mempunyai tingkat intelegensia yang sama atau bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan teman sebayanya, tetapi seringberjuang untuk belajar secepat orang di sekitar mereka. Masalah yang terkait dengan kesehatan mental dan gangguan belajar yaitu kesulitan dalam membaca, menulis, mengeja, mengingat, penalaran, serta keterampilan motorik dan masalah dalam matematika.
 
     Pengertian gangguan belajar secara bahasa adalah masalah yang dapat mempengaruhi kemampuan otak dalam menerima, memproses, menganalisis dan menyimpan informasi. Sedangkan pengertian yang diberikan oleh National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD) mengenai gangguan belajar adalah suatu kumpulan dengan bermacam-macam gangguan yang mengakibatkan kesulitan dalam mendengar, berbicara, menulis, menganalisis, dan memecahkan persoalan.

1. Disleksia (Dyslexia): adalah gangguan belajar yang mempengaruhi membaca dan /atau kemampuan menulis. Ini adalah cacat bahasa berbasis di mana seseorang memiliki kesulitan untuk memahami kata-kata tertulis.

2. Diskalkulia (Dyscalculia): adalah gangguan belajar yang mempengaruhi kemampuan matematika. Seseorang dengan diskalkulia sering mengalami kesulitanmemecahkan masalah matematika dan menangkap konsep-konsep dasar aritmatika.

3. Disgrafia (Dysgraphia): adalah ketidakmampuan dalam menulis, terlepas darikemampuan untuk membaca. Orang dengan disgrafia sering berjuang denganmenulis bentuk surat atau tertulis dalam ruang yang didefinisikan. Hal ini juga bisa disertai dengan gangguan motorik halus.

4. Gangguan pendengaran dan proses visual (Auditory and visual processing disorders): adalah gangguan belajar yang melibatkan gangguan sensorik. Meskipun anak tersebut mungkin dapat melihat dan / atau mendengar secara normal, gangguan ini menyulitkan mereka dari apa yang mereka lihat dan dengar. Mereka akan seringmemiliki kesulitan dalam pemahaman bahasa, baik tertulis atau auditori (atau keduanya).

5. Ketidakmampuan belajar nonverbal (Nonverbal Learning Disabilities):adalahgangguan belajar dalam masalah dengan visual-spasial, motorik, dan keterampilan organisasi. Umumnya mereka mengalami kesulitan dalam memahami komunikasi nonverbal dan interaksi, yang dapat mengakibatkan masalah sosial.

6. Gangguan bahasa spesifik (Specific Language Impairment (SLI)) : adalahgangguan perkembangan yang mempengaruhi penguasaan bahasa dan penggunaan.

Jumat, 16 Januari 2015

BERPIKIR POSITIF SEORANG MUSLIM


Allah SWT berfirman : QS ali Imran 3:191

"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka."

       Islam sangat menghargai akal atau pikiran. Banyak ayat-ayat dengan tegas menuntut, menantang dan memerintahkan manusia untuk menggunakan akal pikirannya dalam memahami ayat-ayat Allah SWT guna meningkatkan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Akal dan pikiran tersebut membedakan manusia dengan makhluk Allah SWT yang lain. Kemuliaan derajat manusia ditentukan dengan kemampuannya menggunakan akal pikirannya dalam memahami ayat-ayat Allah SWT. untuk menemukan hakikat kebenaran.


Manusia : makhluk pencari kebenaran

     Manusia sering disebut dengan Hayawan an-Naatiq atau hewan berpikir yang memiliki naluri ingin tahu atau insting neugurig yang begitu besar terhadap segala sesuatu. Manusia selalu ingin tahu, dan untuk memenuhi rasa ingin tahunya tersebut, di hadapan manusia terdapat 3 jalan kebenaran yang dapat dipilih, yaitu : 

1) Jalan Filsafat : Filsafat sebagai jalan menemukan kebenaran selalu berangkat dari keragu-raguan (spekulatif) sehingga kebenaran yang dicapai pun dipenuhi dengan keragu-raguan, apakah memang itu kebenaran? Akibatnya, manusia yang menggunakan filsafat sebagai jalan menemukan kebenaran tidak mustahil akan tetap terjebak pada sikap ragu-ragu atau free thinker atau pemikir bebas, termasuk bebas memikirkan Dzat Allah SWT yang itu merupakan hal yang mustahil. Kebenaran yang diperoleh melalui jalan filsafat ini sifatnya relatif atau nisbi.

2) Jalan Ilmu Pengetahuan : Kebenaran melalui jalan ini diperoleh melalui proses pembuktian empirik dengan riset atau pun eksperimen, sehingga kebenarannya bersifat positif. Kebenaran positif artinya, kebenarannya masih dapat diterima selama secara empirik hal itu benar, jika secara empirik tidak benar, maka tidak benar juga. Dengan demikian, kebenaran yang diperoleh melalu jalan ilmu pengetahuan ini pun sifatnya relatif.

3) Jalan Agama : Jalan kebenaran agama berangkat dari keyakinan. Bahwa segala sesuatu yang datang dari Allah SWT pasti benar. Al Haqqu min rabbika, yang haq atau benar itu datangnya dari Allah SWT. maka tidak perlu ragu-ragu. Karenanya, kebenaran agama bersifat mutlak atau absolut.

        Agar supaya usaha manusia di dalam mencari kebenaran, baik dengan ilmu pengetahuan maupun filsafat, yang kedua-duanya berpangkal pada akal, tidak keluar dari jalur ‘kebenaran yang dibenarkan’ atau justru bertentangan dengan kebenaran itu sendiri, maka perlu diberi pedoman atau berlandaskan pada rambu-rambu agama. Atau dengan kata lain, pencarian kebenaran yang dilakukan manusia melalui akal dan pikirannya baik melalui filsafat maupun ilmu pengetahuan, harus dibimbing untuk sampai pada kebenaran agama dalam bentuk meningkatnya keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Inilah makna berpikir positif. Karena, akal dan pikiran manusia sangat terbatas, tetapi, dengan bimbingan agama, segala keterbatasan tersebut tidak berlaku. Kebenaran agama tidak hanya terbatas pada kebenaran akal dan pikiran manusia semata, tetapi kebenaran yang melampaui keterbatasan akal dan pikiran manusia tersebut, kebenaran yang diterima melalui petunjuk-petunjuk agama atau wahyu. 

Belajar dari Ibrahim as

      Untuk mengembangkan kemampuan berpikir positif kita bisa belajar pada apa yang telah dilakukan olah Bapak Para Rasul, nabi Ibrahim as, ketika berusaha untuk menemukan Allah SWT.

1. Menyadari adanya masalah, yaitu : ‘bagaimana manusia menyembah sesuatu yang diciptakannya sendiri?’; (QS ash-Shaffat 37:95)

2. Mengumpulkan data atau penjelasan berkaitan dengan masalah tersebut, yaitu : ‘sesungguhnya berhala-berhala itu tidak memiliki daya dan kekuatan, hingga tidak mungkin disifatkan dengan Allah'; (QS al-Anbiyaa’ 21:66)

3. Merumuskan asumsi-asumsi, berupa solusi pemecahan masalah, yaitu : ‘sesungguhnya Tuhan itu wajib tetap, tidak berubah dan selalu ada (tidak lenyap) seperti : matahari, bulan, bintang’; (QS : al An’am 6:74-79)

4. Meluruskan asumsi-asumsi, yaitu : ‘bahwa Tuhan adalah yang menciptakan semua bintang, langit, bumi, matahari dan seluruh makhluk yang ada di dalamnya’;

5. Identifikasi keabsahan asumsi : ‘bahwa semua yang ada di alam semesta ini mengindikasikan adanya Allah dan Dialah yasng telah menciptakan alam semesta ini beserta seluruh isinya dalam tatanan yang teratur dan seksama’.

       Berpikir positif adalah berpikir ilmiah melalui tahapan-tahapan yang biasa ditempuh dalam suatu proses penelitian ilmiah. Ujung atau hasil dari proses penelitian ilmiah tersebut adalah kebenaran akan kemutlakan Allah SWT. Setiap proses berpikir ilmiah atau pun penelitian ilmiah, tidak boleh berhenti sebelum sampai pada Yang Maha Benar, Yang Maha Haq, Pencipta alam beserta seluruh isinya, yaitu : Allah SWT.

Semangat Iqra’

        Pola pikir ilmiah seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. tersebut telah diajarkan oleh Allah SWT kepada nabiNya Muhammad SAW ketika beliau menerima wahyu yang pertama kali, sekaligus sebagai tanda kenabian beliau, yaitu QS al ‘Alaq 96:1-5.

1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,

2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,

4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.

5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

         Melalui wahyu yang pertama kali diturunkan ini, Allah SWT telah mengajarkan kepada manusia melalui Rasul-Nya pola pikir ilmiah, pola pikir positif yang harus senantiasa menghiasi dirinya untuk terus dan tetap belajar sampai akhir hayatnya, belajar apa saja sebagai sarana mencapai derajat mulia di sisi-Nya, yaitu derajat Muttaqin.

Pelajaran yang dapat kita ambil dari QS al-‘Alaq 96:1-5 tersebut adalah :

1. Baca dan Bacakanlah atau pelajari dan ajarkanlah. Kandungan dari makna Iqra’ adalah sama dengan : wa tawashau bil haqqi, yaitu saling berwasiat dalam kebenaran, yang mengandung arti mencari dan menggali untuk menemukan kebenaran yang pada saatnya menyebarkan dan mengajarkan kebenaran itu kepada orang lain.

2. Obyek bacaan dan yang dibacakan adalah seluruh ayat-ayat Allah SWT, baik yang ada dalam Al Qur’an (ayat Tanzilliyah) maupun ayat-ayat Allah SWT yang berupa alam semesta ciptaan Allah SWT (ayat Kauniyah).

3. Dalam mengawali seluruh aktivitas selalu dimulai dengan : a) menyebut dan mengingat nama Allah SWT; dan b) bertindak atas nama Allah SWT (bismi rabbika), serta c) tujuannya adalah meraih keridlaan Allah SWT.

4. Akhir dari seluruh aktivitas manusia adalah : menjadi Khalifatullah dan Abdullah. Khalifah merupakan fungsi asasi (dasar) manusia untuk menterjemahkan, menjabarkan dan membumikan (mengaplikasikan) sifat-sifat Allah yang serba Maha dalam batas-batas kemanusiaan. Sedang Abdullah merupakan tugas asasi manusia untuk melaksanakan ibadah, mengabdikan diri semata-mata kepada Allah. Abdullah adalah perwujudan dari khalifatullah berupa ketundukkan, kepatuhan dan ketaatan kepada Allah swt.

          Akhirnya, tugas manusia sebagai bentuk rasa syukur atas karunia Allah SWT kepadanya dalam bentuk akal dan pikiran adalah menggunakannya secara positif dalam bentuk belajar sepanjang hayat dengan selalu memikirkan ayat-ayat Allah SWT untuk membawanya pada derajat muttaqin, yaitu orang yang senantiasa takut akan siksa dan adzab Allah SWT, sebagaimana firman-Nya : QS al-Fathir 35:28

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."

Wallahu a’lamu bishshawab

Kamis, 15 Januari 2015

Kepemimpinan Islam Pasca-Rasulullah Saw


        Sebagaimana yang telah dijelaskan pada keterangan yang lalu bahwa dalam sistem pemerintahan Ilahi, kekuasaan dan kedaulatan mutlak berada di tangan Allah Ta’ala, sebagai Pencipta dan Pemelihara jagat raya, dan segala sesuatu selain-Nya harus tunduk kepada-Nya, kemudian Ia memberikan mandat kepada Rasulullah Saw. sebagai kepercayaan-Nya, maka siapakah gerangan yang akan menjadi kepercayaan Allah setelah Rasulullah Saw ? Mengingat bahwa Islam sebagai agama yang global dan inter generasi dan diturunkan untuk seluruh umat manusia sampai hari kiamat, maka kepemimpinan dan pemerintahan Islam tidak terhenti dengan wafatnya Rasulullah Saww. Kepemimpinan Islam terus terbentang dan berlaku selagi manusia masih ada di atas permukaan bumi ini. Nah, sehubungan dengan ini, masalah khilafah digulirkan dan dibicarakan bahkan menjadi isu yang paling hangat sejak wafatnya Rasulullah Saww. sampai saat ini. Siapakah yang manjadi khalifah (pemimpin kaum muslimin pasca Rasulullah) ? Dan bagaimanakah proses pengangkatan khilafah Islamiyyah ? 

    Sudah tidak menjadi rahasia lagi, bahwa terdapat dua pandangan yang kontradiktif tentang masalah khilafaturrasul. Sebagian kaum muslimin berpendapat bahwa pengangkatan khalifah diserahkan kepada umat Islam (baca : masyarakat Islam ) dengan mengadakan voting atau syura’, sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa pengangkatan khalifah adalah hak Allah bukan hak manusia. 

    Dalam bukunya, Makrifatullah, dengan sangat arif Ayatullah Makarim Syirazi menjelaskan duduk permasalahan khilafah. Menurutnya, sebenarnya perselisihan tidak akan muncul kalau kedua kubu itu mempunyai pemahaman yang sama tentang arti khalifah. Perselisihan timbul disebabkan kedua golongan tersebut memberikan makna yang berbeda tentang khalifah. 

   Menurut golongan pertama, khalifah bertugas sebagai pemimpin negara dan urusan dunia saja. Oleh karena itu, seorang khalifah tidak diharuskan seorang yang paling baik, paling takwa dan paling memahami urusan-urusan agama. Persyaratan menjadi khalifah cukup dengan kemampuannya memimpin pemerintahan (kafa’ah). Atas dasar makna ini, pengangkatan seorang khalifah cukup dengan syura’ atau menurut suara yang terbanyak, tidak harus ada intervensi dari syariat. 

    Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa jabatan khalifah sama dengan jabatan Rasululullah kecuali menerima wahyu. Oleh karena itu seorang khalifah mesti orang yang paling baik, paling takwa dan paling memahami agama Islam, dan tentunya mempunyai kafa’ah juga. Maka yang mengetahui manusia seperti itu tidak lain adalah Allah Ta’ala Sebagaimana Nabi diangkat oleh Allah demikian pula khalifah diangkat oleh-Nya melalui Rasul-Nya. Jadi kesepakatan akan terjadi di antara dua golongan itu jika mereka bersepakat dalam memaknai kata khalifah, (Lihat kitab Makrifatullah hal. 227-229). 

    Di sini tidak akan kami bahas perselisihan di antara dua golongan tersebut. Namun kami akan lebih menekankan pada fungsi seorang khalifah atau pemimpin kaum muslimin dengan mengacu kepada ajaran Islam yang komprehensif dan kepemimpinan Rasulullah Saww. (Bagi pembaca yang ingin mendapatkan penjelasan yang memadai tentang model kepemimpinan dalam Islam dipersilahkan membaca buku Suksesi karya Syahid Muhammad Baqir Shadr, yang cukup representatif membicarakan masalah kepemimpinan dalam Islam). 

    Sebagaimana telah diketahui bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dan bahwa Nabi Muhammad Saww. selain menyampaikan wahyu dan tempat bertanya tentang masalah-masalah keagamaan (marja’iyyah diniyyah), juga beliau adalah pemimpin negara Islam. Maka tugas seorang khalifah, sesuai dengan arti dari khalifah, yaitu penggganti atau wakil, sama dengan tugas Nabi Saww. kecuali menerima wahyu. 

Keterangan Tekstual Tentang Pemimpin Islam Pasca Rasulullah Saw 

    Dalam berbagai kitab hadis dikutip sebuah hadis yang cukup populer dengan redaksi yang berbeda namun maksudnya sama. Rasulullah Saww. bersabda, "Barangsiapa mati sementara dia tidak mengenal imam zamannya maka dia akan mati seperti matinya orang-orang jahiliyyah." Hadis ini dengan jelas menekankan pentingnya masalah kepemimpinan sehingga seorang muslim yang tidak mengenal imam yang ada pada zamannya akan mati seperti orang-orang jahiliyyah. Sedemikian pentingnya masalah kepemimpinan dalam Islam sehingga tidak mungkin Rasulullah mengabaikankannya tanpa memberikan penjelasan kepada umat Islam tentang proses pengangkatannya dan kriteria-kriteria seorang pemimpin setelah beliau wafat. 

    Sebagian mufasir mengatakan bahwa ayat yang berbunyi "Wahai Rasul, sampaikankanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak kamu lakukan maka kamu tidak menyampaikan risalahNya ‘ ( QS Al-Maidah, 5 : 67) merupakan perintah dari Allah agar Rasulullah menyampaikan wasiat terakhir tentang kepemimpinan (Lihat tafsir Al-Mizan dan tafsir Majma’ al Bayan berkenaan dengan ayat di atas). 

   Juga ayat yang berbunyi, "Wahai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil amri dari kalian " (QS An-Nisa’, 4 : 59) merupakan perintah dari Allah untuk menaati para pemimpin setelah Rasulullah Saww. Kalau kita merujuk ke literatur-literatur hadis, maka akan kita dapatkan sejumlah riwayat dari Rasulullah tentang masalah khalifah atau pemimpin. Di antaranya adalah : "Agama ini akan tetap tegak sampai hari kiamat atau selama kalian dipimpin oleh dua belas khalifah. Semuanya dari Quraisy " (Shahih Muslim jilid 6 halaman 4); "Islam akan senantiasa mulia sampai dengan dua belas khalifah " (Shahih Bukhari jilid 8 halaman 105 dan 128) dan riwayat-riwayat lainnya yang tidak perlu kami sebutkan semuanya. 

  Dengan demikian, masalah dan model pemerintahan pasca-Rasulullah Saww. telah selesai dibicarakan, yaitu kekhilafahan. Dalam keterangan tekstual maupun sejarah tidak ada keterangan tentang pengangkatan pemimpin Ilahi atau khalifah melalui syura’. Syura’ biasanya dipraktikkan dalam masalah-masalah sosial yang duniawi, sedangkan khilafah dan kepemimpinan tidak hanya duniawi saja. Malah dalam beberapa hadis disebutkan juga pribadi-pribadi yang berhak menjadi pemimpin dan mereka telah diangkat oleh Rasulullah sendiri. Mereka itu adalah, ‘Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan, Al-Husain, ‘Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq, Musa Al-Kazhim, ‘Ali Ar-Ridha’, Muhammad Al-Jawad, ‘Ali Al- Hadi, Hasan Al-‘Askari dan Muhammad Al-Mahdi (salam sejahtera atas mereka semuanya). Mereka adalah khalifah-khalifah Nabi yang berjumlah dua belas dan hujjah-hujah Allah setelah Nabi Saww. Mereka mempunyai tugas yang sama dengan Nabi hanya saja mereka tidak mendapatkan wahyu atau membawa syariat baru. 

      Menarik untuk dicermati, bahwa pemerintahan Ilahi memberi kesan adanya kekuasaan yang turun temurun atau yang dalam istilah yang terkenal dewasa ini, nepotisme. Sebagian tokoh kita ada yang keberatan dengan sistem pemerintahan Ilahi karena alasan nepotisme dan otoriter, tidak mengenal syura’ dalam pengangkatan pemimpin. 

     Mengapa nepotisme ? Kata nepotisme bagi kaum demokrat berkonotasi negatif, yaitu pembagian jabatan-jabatan pemerintahan berdasarkan kekerabatan (Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia). Tetapi kesan nepotisme yang negatif itu tidak akan muncul dalam sistem pemerintahan Ilahi karena dalam pemerintahan Ilahi kekuasaan hanya milik Allah Swt., bukan milik rakyat atau bersama (seperti yang telah diuraikan pada bagian pertama dari tulisan ini). Dan sebenarnya keburukannya nepotisme itu karena tidak memberikan jabatan kepada orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan, namun memberikannya kepada seseorang hanya karena pertimbangan keluarga. Tetapi lain halnya dengan sistem pemerintahan Ilahi, kekuasaan dan kepemimpinan diberikan kepada orang-orang yang menurut Allah dan Rasul-Nya mempunyai kelayakan (kafa’ah), meskipun mereka dari satu keluarga atau turun temurun. Oleh karena itu, Allah menjadikan keturunan Nabi Ibrahim as. sebagai nabi dan pemimpin, seperti Ismail, Ishak, Ya’kub dan Yusuf, karena Allah mempercayai mereka sebagai pemimpin umat manusia. Demikian pula para khalifah Nabi Muhammad Saww. diangkat atas pertimbangan yang sama, yakni mereka dipercayai untuk melanjutkan kepemimpinan Allah dan Rasul-Nya. 

  Berkenaan dengan ini, Alquran menjelaskan, "Aku hendak menjadikanmu pemimpin untuk manusia. Dia ( Ibrahim) berkata, " Dan dari keturunanku ?" Allah menjawab "(ya, tetapi) janjiku (kepemimpinan) ini tidak diberikan kepada (keturunanmu) yang zalim."(QS Al-Baqarah : 124) dan juga mengatakan, "Sesungguhnya Allah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran atas seluruh semesta alam raya. Sebagian dari mereka adalah keturunan dari sebagian yang lain "(QS Ali Imran : 33-34). Oleh karena itu, pemerintahan Ilahi tetap beranjak dari kekuasaan dan kepemimpinan Allah dan Allah pulalah yang akan menentukan siapa pemimpin kaum muslimin setelah Rasulullah Saww. 

Kepemimpinan Para Ulama ( Wilayah Al-Faqih) 
   
      Islam sebagai agama yang universal dan lintas bangsa dan generasi sampai hari kiamat telah menjelaskan kepada kita estafet kepemimpinan setelah Rasulullah Saww. dan para khalifah. Penerima mata rantai kepemimpinan atau tongkat kepemimpinan mereka adalah para ulama. Ulama dalam Islam bukanlah pribadi yang hanya menguasai ilmu agama saja, tetapi lebih dari itu ia harus tampil sebagai pemimpin kaum muslimin yang harus memahami denyut dan detak jantung umat dengan baik dan peduli terhadap masalah-masalah sosial serta mampu mengatasinya, karena mereka, sebagaimana dalam beberapa hadis yang akan kami sebutkan, adalah pewaris para nabi. Dan dalam kenyataannya, sejarah dunia Islam terhiasi dengan perjuangan yang heroik para ulama dalam membela umat Islam dan melawan kezaliman, khususnya kolonial. 

Berikut ini hadis-hadis tentang posisi ulama dalam Islam

1. Dari Abu Abdillah dari Rasulullah Saww.: "Para fuqaha’ adalah kepercayaan para rasul selagi mereka tidak masuk ke dalam (urusan) dunia. " Beliau ditanya, "Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan masuk ke dunia ?" Beliau menjawab, "Mengikuti penguasa (sultan). Jika mereka mengerjakan itu, maka waspadailah mereka atas agama kalian. "(Al-Kafi jilid 1 halaman 38) 

2. Rasulullah Saww. bersabda, "Para ulama adalah kepercayaan Allah untuk makhluk-Nya " dan juga beliau bersabda, " Ulama adalah kepercayaan umatku." (Kanz Al-‘Ummal) 

3. Rasulullah saww. bersabda, "Ulama adalah pemimpin dan orang-orang bertakwa adalah penghulu", (Kanz Al-‘Ummal) dan hadis-hadis yang lain. 

     Dari hadis-hadis ini tampak jelas begitu pentingnya posisi ulama dalam Islam. Mereka selaku pewaris nabi mempunyai tugas dan tanggung jawab yang hampir sama, kalau tidak dikatakan, sama dengan nabi. Tugas yang paling penting adalah memimpin umat. Jadi dalam pemerintahan Islam kepemimpinan setelah Allah, rasul dan para khalifah adalah para ulama. Perlu dicatat, bahwa dalam pemerintahan Ilahi pemimpin tertinggi dan mutlak adalah Allah, sedangkan Nabi dan para khalifah hanyalah pelaksana saja. Demikian pula ulama tidak lain dari kepanjangan tugas Nabi dan para khalifahnya. Kepemimpinan ulama tidak berarti dia single fighter dalam mengurus seluruh urusan pemerintahan. Dia mesti dibantu oleh para pakar atau lembaga dalam berbagai bidang dan urusan pemerintahan. Dia hanya mengawasi dan membimbing para pejabat agar tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama. Agar kebijaksanaannya sebagai pemimpin tidak salah atau merugikan masyarakat, maka dia harus mengadakan musyawarah dengan dewan ahli (Llihat Wilayat Al-Faqih juz 1:12). 

     Sudah menjadi salah kaprah dewasa ini, gelar ulama diberikan kepada seseorang tanpa sebuah quality selective dalam keilmuannya, ketakwaannya dan ke-wara’-annya, sehingga amat dengan mudah dan dengan pengertian yang sangat longgar kata ulama disandang seseorang. Sungguh sangat dilematis, seseorang disebut ulama, padahal tidak memenuhi kriteria ulama, dituntut untuk berperan sebagai pengganti Nabi. Dan ini tidak jarang menjadi sebuah pelecehan terhadap posisi ulama yang sangat mulia dan terhormat. 

     Melihat kenyataan seperti itu, akhirnya posisi itu secara absurd diambil alih oleh selain ulama. Dalam urusan pemerintahan "Ulama" tidak lagi dapat diandalkan untuk memimpin sebuah negara dan sebagai pemilik otoritas tertinggi dalam pemerintahan. Walaupun terkadang suara ulama diambil dalam sebuah keputusan, itupun hanya sekedar bahan pertimbangan belaka. Keputusan akhir tetap oleh pihak yang berkuasa yang bukan ulama. Demikian pula dalam masalah keilmuan. Oleh karena kualitas keilmuan ulama untuk menjawab berbagai problema kehidupan minim sekali, maka tidak jarang dari selain ulama mengambil jalan pintas melalui beberapa referensi ilmu agama (ayat dan hadis) untuk mengambil keputusan sendiri dan menyatakan bahwa keputusannya itu adalah hukum dan ajaran Islam., dan juga ulama tidak lagi menjadi teladan dalam kehidupan pribadi dan sosialnya, sehingga umat mencari figur yang bukan ulama untuk dijadikan idola dan teladan. 

    Begitu pentingnya posisi ulama dalam pemerintahan Ilahi, maka Islam meletakkan beberapa kriteria ulama yang rabbani, yang mempunyai tugas yang mulia tersebut. Di antara kriteria-kriteria ulama itu ialah : 

     Pertama, takut kepada Allah Swt. : "Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah para ulama".(QS Al-Fathir : 28). Allamah Al-Thabathaba’i dalam tafsirnya berkata, "Yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengenal Allah Swt. beserta asma’-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya dengan pengetahuan yang sempurna sehingga menenangkan hati mereka dan menghilangkan keraguan dari mereka serta akan tampak pengaruhnya dalam tindakan mereka yang nyata sehingga perbuatan mereka menjadi manifestasi ucapan mereka. Dan yang dimaksud dengan takut adalah takut yang sebenarnya yang diikuti dengan ke-khusyu’-an batin dan ketundukan lahir. " (Tafsir Al-Mizan juz 17:43). 

   Kedua, memahami agama dengan baik dan mendalam. Allah Swt. berfirman, "Hendaknya sekelompok dari setiap golongan dari kalian pergi ber-tafaqquh dalam din dan lalu memberi peringatan kepada kaum mereka jika mereka kembali kepada (kaum mereka) supaya mereka berhati-hati."(QS At-Taubah, 9: 122). Tafaqquh berarti memahami din secara mendalam. Dari akar kata yang sama, kata faqih yang berarti seorang yang mendalam dalam pengetahuan din (Lihat Al-Munjid). Yang dimaksud din adalah agama Islam yang komprehensif dalam mengatur semua aspek kehidupan manusia, termasuk sosial dan politik. 

    Ketiga, memperjuangkan agama, menjaga diri dari kemaksiatan dan dorongan hawa nafsu serta menaati agama dengan ketat. Dalam sebuah riwayat yang sampai kepada Imam Al-Mahdi (semoga Allah menyegerakan kehadirannya) disebutkan, "Barangsiapa dari para faqih terdapat faqih yang membela agamanya, menjaga dirinya, tidak mengikuti hawa nafsunya dan menaati Allah [atau Nabi dan Imam], maka bagi orang awam wajib mengikutinya. " (Tahrir Al-Wasilah jilid 1:3 ). 

     Dari keterangan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan ulama (wilayah al-faqih) adalah kepanjangan dari kepemimpinan Allah, Rasul dan para khalifah, Alhamdulillah.

Rabu, 14 Januari 2015

PENDIDIKAN ANAK MENURUT ISLAM


(BAGIAN UTAMA PENDIDIKAN ISLAM DALAM KELUARGA)

LANDASAN
Firman Allah SWTdalam al- Qur’an surat: 66/at-Tahrim : 6; 4/an-Nisaa’ : 9; sabda Nabi SAW  : ‘setiap anak itu dilahirkan dalam keadan fitrah (Muslim), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi’.  (HR. Bukhary-Muslim).
Dari landasan normatif tersebut mucul dalam setiap jiwa (hati) orang tua apa yang disebut dengan MOTIVE THEOGENETIC, yaitu : suatu kesadaran  bahwa anak adalah titipan Tuhan sehingga tergerak di dalam jiwanya (hatinya) untuk menjaga, memelihara, membimbing anaknya agar selamat dari siksa api neraka, menjadi generasi yang kuat, berbahagia dan tetap dalam fitrahnya, yaitu : MUSLIM.
ANAK ADALAH AMANAH YANG HARUS DITUNAIKAN.

SATU-SATUNYA JALAN UNTUK ITU ADALAH : PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN.

ALASAN (WHY)
     Di samping landasan normatif tersebut di atas sebagai alasan anak harus dididik, dan ini merupakan bagian utama dari tugas orang tua, selain memberi nafkah, terdapat beberapa alasan (teoritik dan empirik), yaitu : 1) alasan Paedagogis, bahwa : manusia adalah ANIMAL EDUCABIL, yaitu hewan yang bisa dididik; 2) alasan Psikologis, bahwa sejak lahir anak itu secara psikis maupun pisik netral, sejak lahir telah dibekali disposisi positif dan negatif; 3) alasan Sosiologis, bahwa manusia adalah makhluk sosial dan dari interaksi sosialnya melahirkan kultur atau budaya; dan merupakan naluri manusia untuk mempertahankan budayanya; 4) alasan Filosofis, manusia adalah makhluk berpikir dengan rasa ingin tahu yang sangat besar; 5) alasan Religius, manusia adalah makhluk bertuhan dengan naluri keberagamaan (gharizah diniyyah). Alasan-alasan ini memberikan gambaran betapa potensi yang dimiliki oleh manusia yang besar.
JAWABAN DARI SEMUA POTENSI TERSEBUT AGAR DAPAT BERKEMBANG DENGAN BAIK DAN BENAR ADALAH : PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN.
 
KAPAN (WHEN)
  Sedini mungkin. Pendidikan anak diberikan sejak sedini mungkin, bisa dimulai ketika mencari jodoh. Nabi SAW bersabda : ‘Carilah tempat kamu menebar benih tempat yang baik’; ‘Wanita hitam tetapi bisa memberi keturunan lebih baik dari pada wanita putih tapi tidak mampu memberi keturunan’. Terus secara berturut-turut pendidikan tetap dilakukan oleh orang tua, seperti ketika menikah : membaca syahadat, membaca istighfar; ketika melakukan hubungan suami isteri dengan membaca do’a, sampai pada kehamilan pertama, ketika dilahirkan dengan dibacakan adzan dan iqamah dan seterusnya.
Sampai kapan ? Secara teoritik sampai anak itu DEWASA, yaitu : sampai anak itu : mantap (stabil) pandangan hidupnya, nilai kehidupannya dan tingkah lakunya; sampai anak itu memiliki tanggung jawab, baik individual, sosial maupun susila; dan sampai anak itu mandiri secara ekonomi dan perbuatan. Tetapi, karena secara empirik tidak ada manusia yang mampu memiliki semua ciri-ciri dewasa tersebut dalam satu waktu dan permanen,  maka sepanjang hidupnya dia harus dididik (harus belajar).
JAWABAN DARI PERTANYAAN INI ADALAH : SEDINI MUNGKIN DAN SEUMUR HIDUP.


APA (WHAT)

    Fitrah atau potensi atau unsur utama manusia adalah : Jasmani, Ruhani, dan Akal. Maka, isi pendidikan yang sesuai dengan ketiga potensi tersebut adalah : ketrampilan, sikap dan ilmu. Ketrampilan menggambarkan amal atau akhlak manusia; sikap menggambarkan iman atau keyakinan manusia; dan ilmu menggambarkan tuntunan yang dipegangi manusia atau syari’ah-ibadah. Dengan demikian, seperti dicontohkan oleh Luqman as. ketika mendidik anak-anaknya : yang pertama dididikkan adalah : AQIDAH, yang kedua AKHLAK, dan yang ketika IBADAH (QS. 31/Luqman : 13, 14 dan 17)
Manusia yang utuh adalah yang berkembang secara konsisten dan persisten semua unsur dasarnya tersebut, yang dalam pendidikan Islam disebut dengan PRIBADI MUSLIM, yaitu orang yang berkembang Imannya, berkembang Ilmunya, dan berkembang Amalnya.
JAWABAN DARI PERTANYAAN INI ADALAH : SYARI’AH ISLAMIYAH.

   DI MANA (WHERE)
     Anak memperoleh pendidikan pertama dan utama adalah di lingkungan pertamanya dan utamanya, yaitu rumah atau KELUARGA. Setelah anak menghadapi dan mengalami perkembangan sosial yang sangat beragam, mereka membutuhkan ‘jembatan’ dalam bentuk pendidikan formal di SEKOLAH. Setelah itu, pergaulan sosialnya semakin meluas, anak memerlukan lingkungan pendidikan yang lebih luas pula, yaitu MASYARAKAT.
Keberhasilan anak dalam menempuh pendidikan di dua lingkungan terakhir, sekolah dan masyarakat, lebih banyak juga di pengaruhi oleh keberhasilan pendidikannya di lingkungan pertama, yaitu keluarga.
JAWABAN DAR PERTANYAAN INI ADALAH : DI RUMAH

SIAPA (WHO)

    Orang yang pertama kali dikenal secara pisik, lebih-lebih secara emosi adalah ibu. Dialah yang mengandungnya, menyusuinya, dan sebagainya. Maka secara naluriah pula anak lebih dekat dengan ibu. Kepada ibu semua persoalan dan pertanyaan diajukan. Kepada ibu anak mencari perlindungan. Dengan demikian ibulah pendidikan utama dan pertama bagi anak, ibu adalah MADRASAH bagi anak. Begitu juga sabda Rasul : ‘Doa ibu lebih terkabul, karena adanya hubungan darah secara langsung’.
JAWABAN PERTANYAAN INI ADALAH : IBU

BAGAIMANA CARANYA/METODENYA (HOW)
Anak memiliki naluri TAQLID yang sangat kuat. Siapa yang ditiru ? Orang yang paling dekat, paling dicintai, paling disayangi. Apa saja yang dilakukan oleh mereka mudah sekali ditiru oleh anak. Maka metode atau cara yang paling berpengaruh atau efektif adalah : KETELADANAN DAN PEMBIASAAN.
Kepada anak diberikan contoh-contoh perbuatan atau tingkah laku secara langsung dan mereka dibiasakan untuk melakukan itu. Bisa karena biasa.
JAWABAN PERTANYAAN INI ADALAH : KETELADANAN DAN PEMBIASAAN.

PENUTUP

    Tujuan hidup manusia adalah tujuan penciptaan manusia oleh Allah SWT, yaitu menjadi : ABDULLAH ( QS. 51/adz-Dzaariyaat : 56); menjadi KHALIFATULLAH (QS.2/al-Baqarah : 30); meraih kebahagian dunia dan akhirat dan terbebas dari siksa api neraka (QS.2/al-Baqarah : 201), serta menjalankan atau meneruskan tugas risalah Nabi Muhammad SAW menjadi RAHMAT BAGI SELURUH ALAM (QS. 21/al-Anbiyaa’ :107).
     Tujuan-tujuan tersebut tidak mungkin tercapai tanpa pendidikan, pendidikan yang utuh, yang tidak membeda-bedakan, memisah-misahkan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Semua harus diajarkan, dipelajari sesuai dengan kadar peranan dan tanggung jawab masing-masing. Pada hakekatnya ilmu adalah satu, karena sumbernya satu, yaitu : ALLAH SWT, dan tujuannya pun satu, yaitu untuk BERIBADAH kepada-NYA.
 Wa Allahu a’lam bi al-shawab.